Artikel Islam Pilihan
7 adab, adab dalam berdzikir, berdzikir denan lisan, dzikir pagi dan petang, dzikir tanpa mengeraskan suara, jangan lalai dari berdzikir, keutamaan berdzikir, mengingat Allah, merendahkan diri, sikap merasa takut kepada Allah, surat al araaf 205, ustadz abu umar indra
kajiban
1 Comments
7 Adab dalam Berdzikir Berdasarkan Surat Al-A’raaf 205
Bismillah…
Berdzikir merupakan ibadah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syari’atkan untuk setiap hamba-Nya. Bahkan ada banyak sekali keutamaan berdzikir yang bisa didapat bagi yang rutin mengamalkannya dengan cara yang benar dan memenuhi adab-adab yang diperintahkan.
Dalam artikel ini akan kita bahas tentang 7 adab dalam berdzikir berdasarkan surat Al-A’raaf ayat 205.
Berikut adalah ayat yang dimaksud :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Adab #1 : Ingatlah Allah dalam dirimu
Di awal ayat disebutkan “وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ” yang artinya “dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu…“
Kalimat ini mengandung perintah untuk melakukan dzikir dengan cara menyertakan hati untuk ikut berdzikir dan mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan kata lain, kita diperintahkan untuk memahami dzikir yang kita baca dan merenungkan makna dari dzikir tersebut (dengan perenungan).
Tidak sedikit orang yang hanya berdzikir secara lisan saja, sedangkan hatinya keliling kesana kemari memikirkan hal yang sifatnya duniawi. Ini adalah cara berdzikir yang kurang sempurna.
Adab #2 : Dilakukan dengan merendahkan diri di hadapan Allah
Kata “تَضَرُّعًا” dalam ayat tersebut menjelaskan perintah bahwa dalam berdzikir kita harus menyertakan rasa penghambaan yang tulus dan merendahkan diri, serta mengakui kekurangan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Salah satu tujuan dari adab dalam berdzikir ini adalah dapat terealisasinya penghambaan diri yang maksimal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta dapat merealisasikan sikap merasa kecil ketika memahami sifat Rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika selama ini kita hanya mengucapkan dzikir secara lisan saja, sedangkan jiwa kita masih tidak merasa rendah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dzikir yang diamalkan masih kurang sempurna.
Adab #3 : Dilakukan dengan sikap hati yang merasa takut kepada Allah
Kata selanjutnya yang menjadi salah satu adab dalam berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah “وَخِيفَةً” yang artinya “dan rasa takut“, mengandung makna bahwa dalam berdzikir kepada Allah harus disertai dengan sikap hati yang merasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Takut yang bisa dihadirkan disini ada 2 hal, yakni :
- Takut dengan hukuman dan ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala karena lalai dalam beramal.
- Takut dan khawatir amal yang dikerjakan tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan 2 perasaan takut ini, insyaa Allah bisa menjadikan kita memiliki sifat orang mu’min, yang cenderung bersegera dalam melakukan kebaikan, menghadirkan hati dalam beramal, dan takut amalan mereka tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mu’minun ayat 60 – 61 :
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka,”
أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”
Adab #4 : Hendaknya dilakukan tanpa mengeraskan suara
Adab dalam berdzikir selanjutnya adalah “وَدُونَ الْجَهْرِ” yang maknanya “dengan tidak mengeraskan suara“.
Ada banyak faidah dengan menjalankan adab tidak mengeraskan suara ketika berdzikir, diantaranya adalah lebih mendekatkan diri pada kesempurnaan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan agar kita bisa tafakkur dengan dzikir yang dibaca.
Selain faidah tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun pernah menegur para sahabat yang melakukan dzikir dengan mengeraskan suara. Sebagaimana yang tercantum dalam hadits di bawah ini :
Dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ »
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan bertakbir dengan mengeraskan suarakami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Wahai sekalian manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim no. 2704).
Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan do’a.
Adab #5 : Hendaklah dilakukan dengan lisan tapi tidak dikeraskan
Maksud dari “مِنَ الْقَوْلِ” yang bermakna “dari ucapan“, adalah sebuah indikasi bahwa dzikir sebaiknya dilakukan dengan bibir yang mengucapkannya secara dzohir (tidak dalam hati) yang ditandai dengan mulut yang komat kamit membaca dzikir.
Namun perlu diingat, bahwa adab melakukan dzikir dengan lisan ini tetap harus memperhatikan adab sebelumnya, yakni tidak mengeraskan suara ketika melakukannya, dan cukup dengan bacaan yang di-sirr-kan (tidak di-jahr-kan).
Adab #6 : Hendaklah dilakukan di Pagi & Petang
Berdzikir sejatinya bisa dilakukan sesering mungkin. Akan tetapi kata “بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ” yang artinya “di waktu pagi dan petang” menunjukkan keistimewaan 2 waktu tersebut, yakni waktu pagi dan petang.
Hal yang menjadikan waktu tersebut lebih istimewa adalah :
- Waktu pagi dan petang merupakan waktu yang tenang untuk melakukan ibadah dan dzikir, sehingga sangat mendukung kesungguhan untuk melakukannya. Beda dengan waktu siang yang cenderung tercampur dengan berbagai urusan dan kegiatan dalam rangka mencari ma’isyah (penghidupan).
- Malaikat malam dan malaikat siang saling ber-estafet setiap hari, dan kedua malaikat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut berkumpul pada sholat Shubuh dan Sholat Ashar.
Abu Hurairah re. mengabarkan, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
“Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat (yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka,
‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’”.
(HR. Imam Ahmad Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
Adab #7 : Jangan lalai dari berdzikir kepada Allah
Kalimat “وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ” yang artinya “dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” merupakan perintah yang tegas agar kita jangan lalai dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kalimat tersebut pun menjadi isyarat agar kita senantiasa istiqomah dalam berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang rutin (kontinyu) walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [HR. Muslim no. 783].
Dalam ayat selanjunya, yakni Al-A’raaf ayat 206 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ
“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud.”
Penyebutan malaikat-malaikat dalam ayat ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, adalah agar manusia menjadikan malaikat sebagai contoh dan teladan dalam melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mentafsirkan ayat yang menyebutkan malaikat-malaikat ini agar terjadi kemanfaatan pada diri manusia dengan memperbanyak ibadah dan berdzikir sebagaimana para malaikat yang senantiasa menjaga dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a’lam…
***
Alhamdulillah, akhirnya penjelasan tentang 7 adab dalam berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan firman-Nya dalam surat Al-A’raaf : 205 telah selesai kita bahas.
Semoga tulisan sederhana ini bisa memberikan faidah kepada kita semua agar bisa menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa menjaga dzikir dengan memperhatikan 7 adab dalam berdzikir sebagaimana yang dipaparkan di atas.
Barokallahu fiikum…
(Dijelaskan oleh Ustadz Abu Umar Indra hafizhahullahu ta’ala dalam kajian rutin Selasa pagi, tanggal 01 Januari 2019 di Mesjid Cipaganti – Bandung).
1 comment