Pertemuan #3 : Tasyri Ibadah
Pertemuan #3 : TASYRI’ IBADAH
Artikel ini akan membahas tentang Tasyri’ Ibadah dari buku berjudul “Sudah Benarkah Ibadah Saya?”.
Bismillah…
Tasyri’ ibadah adalah kewenangan mensyariatkan ibadah untuk diamalkan manusia. Kewenangan ini mutlak berada di tangan Allah Ta’ala. Terkadang Allah menetapkan langsung di dalam kitab-Nya dan terkadang menyerahkan hal ini kepada Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
وَالسُّنَّةُ تُفَسِّرُ الْقُرْآنَ وَهِيَ دَلَائِلُ الْقُرْآنِ وَلَيْسَ فِي السُّنَّةِ قِيَاسٌ وَلَا تُضْرَبُ لَهَا الْأَمْثَالُ وَلَا تُدْرَكُ الْعُقُوْلَ وَلَا الأَهْوَاءَ إِنَّمَا هُوَ الإِتِّبَاعُ وَتَرْكُ الْهَوَى
“Sunnah itu menafsirkan al-Qur’an dan sunnah adalah dalil bagi al-Qur’an. Tidak ada qiyas dalam sunnah, tidak bisa dijadikan perumpamaan, dan tidak bisa disusupi akal dan hawa nafsu. Sunnah adalah mengikuti (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dan meninggalkan hawa nafsu.”
Kita beribadah hanya kepada Allah Ta’ala, maka ibadah itu harus sebagaimana yang Allah Ta’ala inginkan. Barangsiapa membuat tata cara ibadah baru tanpa izin Allah Ta’ala, maka ia telah memposisikan dirinya sejajar dengan-Nya dan ini merupakan kelancangan besar.
Meskipun terkadang Allah melimpahkan hak tasyri’ tersebut pada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun pada hakikatnya itu atas izin dari Allah Ta’ala. Bahkan bila beliau menetapkan hukum yang tidak sesuai dengan wahyu Allah, beliau mendapatkan ancaman dari Allah Ta’ala melalui firman-Nya :
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya.” (QS. Al-Haaqqah: 44-46)
Jadi agar suatu amal dinilai sebagai ibadah, selain harus memperoleh legalitas dari Allah Ta’ala, amal itu pun mesti mendapatkan validitas dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasar perintah dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Oleh karena itulah, ditetapkan kaidah bahwa ibadah bersifat taufiqiyah. Apa yang telah disyariatkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya itulah yang merupakan ibadah, sebaliknya bila tidak disyari’atkan maka bukan ibadah.
Imam Malik rahimahullah berkata:
مَنِ ابْتَدَعَ فِي اْلإسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً، زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللُه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِسَالَةَ، لِأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ: (اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ) المائدة: 3، فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا، فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam Islam, dan menganggapnya baik, maka dia telah menuduh Muhammad mengkhianati risalah (Islam). Karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Pada Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian …’ (QS. Al-Maaidah: 3). Maka yang bukan (bagian dari) agama pada hari itu, pada hari ini juga bukan (bagian dari) agama.”
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata,
“Berhati-hatilah akan bid’ah-bid’ah yang kecil (dianggap remeh) dalam agama ini. Karena betapa sering bid’ah-bid’ah kecil itu terus berulang hingga akhirnya menjadi besar.”
Itulah mengapa ketika Abdullah bin Mas’ud melihat orang-orang membuat lingkaran-lingkaran di masjid sambil berdzikir dengan kerikil. Lalu salah seorang memberi komando,
“Bertasbihlah 100 kali.” Maka mereka pun bertasbih 100 kali…
Lantas Ibnu Mas’ud mengingkari dengan keras perbuatan mereka ini.
Namun mereka menjawab, “Kami hanya menginginkan kebaikan wahai Abu Abdurrahman.”
Maka Ibnu Mas’ud menjawab,
وَكَمْ مِّنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
“Betapa banyak orang yang mendambakan kebaikan, namun tidak dapat meraihnya”
Dan sejarah membuktikan, sebagian dari orang-orang yang ditegur oleh Ibnu Mas’ud itu pada akhirnya bergabung dengan Khawarij memerangi umat Islam pada perang Nahrawan.
Bid’ah kecil berupa amalan berkembang menjadi bid’ah besar yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan).
Wal ‘iyadzu billah.
***
Semoga artikel tentang Tasyri’ Ibadah yang disarikan dari buku “Sudah Benarkah Ibadah Saya?” ini bermanfaat dan memberikan faidah kepada kita semua.
Barakallahu fiikum.
Post Comment